Jumat, 04 Maret 2011

Ini akibat tradisi yang mengharamkan wanita memperlihatkan wajah dan tubuhnya.

Pernikahan itu terjalin selama tiga dekade. Anehnya, sang suami sama sekali belum pernah melihat wajah istrinya. Hanya mata yang bisa dipandang selama hidup bersama.

Sepanjang hidupnya, sang istri selalu mengenakan burka, busana tertutup bagi wanita muslim yang hanya memperlihatkan area mata. Bahkan, tidur pun mengenakan busana itu.

Selama 30 tahun menjalani pernikahan tanpa melihat wajah istri ternyata tak mengubur rasa penasaran sang suami. Diam-diam, pria ini nekat menyingkap cadar di wajah istrinya yang tengah lelap tertidur.

Hanya, jawaban atas rasa penasarannya itu harus dibayar 'mahal' dengan gugatan cerai sang istri, 2008 silam. Sang istri yang sudah berusia 50-an tahun merasa dikhianati. Ia bulat menghendaki perceraian, meski suami sudah berulang kali meminta maaf dan berjanji tak mengulangi perbuatannya.

"Setelah sekian tahun, dia (suami) mencoba melanggar komitmen, ini sudah kesalahan besar," kata sang istri kepada koran setempat, Al-Riyadh, seperti dikutip dari laman Daily Mail. 

Apa yang dilakukan wanita itu merupakan bentuk kepatuhan terhadap tradisi yang tumbuh subur di kampungnya, tak jauh dari Khamis Mushayt, wilayah barat daya Arab Saudi. Bukan ajaran Islam, namun tradisi ini tumbuh subur di sejumlah kawasan terpencil di beberapa negara Teluk.

Itu pun bukan satu-satunya kasus. Seorang pria bernama Ali al-Qahtani juga menerima ancaman cerai ketika mencoba membuka cadar istrinya setelah 10 tahun pernikahan. Beruntung ia dimaafkan setelah berjanji tak akan mengulangi perbuatannya.

Sementara Hassan Al-Atibi mengancam akan menikah lagi jika istrinya tak bersedia membuka cadar. Bukannya terancam, sang istri malah mencarikan wanita yang tak menganut tradisi itu untuk dijadikan istri kedua. Merelakan suaminya poligami agaknya lebih baik daripada menunjukkan wajahnya ke suami.

Om Rabea al-Gahdaray, 70, salah satu wanita yang menjalani tradisi ini mengatakan bahwa suami tidak boleh melanggar komitmen yang telah disepakati sebelum pernikahan. Suami tak boleh mengubah tradisi yang telah terbangun sejak zaman lelulur mereka.

Saat ditanya bagaimana bisa memiliki anak tanpa mengizinkan suami melihat wajah dan tubuhnya, al-Gahdaray menjawab, "Pernikahan itu tentang cinta, bukan wajah."

Sabtu, 26 Februari 2011

PSSI Diambang Sanksi FIFA ?

Adanya campur tangan pemerintah yang luar biasa telah membuat kondisi sepakbola nasional menjadi tidak menentu. Pernyataan Menegpora Andi Alfian Malarangeng yang arogan dengan berencana membekukan PSSI dinilai sebagai perwujudan dari sikap represif pemerintahan gaya lama, yang lebih mengetengahkan pendekatan kekuasaan untuk mencapai suatu tujuan. Akibat intervensi dari pemerintah itu, PSSI kini diambang mendapatkan sanksi dari FIFA.

Kemungkinan adanya sanksi dari FIFA untuk PSSI dinilai akan menimbulkan kerugian besar bagi persepakbolaan nasional. Kendati demikian, kepastian jatuhnya sanksi dari otoritas sepakbola dunia itu sendiri tampakya masih akan menunggu hasil dari Sidang Komite Emergency FIFA yang akan dilakukan 1 Maret ini di Zurich, Swiss.

Sidang Komite Emergency ini sebenarnya sudah dijadwalkan sejak bulan lalu, bahkan sudah disampaikan oleh Sekjen FIFA Jerome Valcke dalam surat yang disampaikannya ke Sekjen PSSI pada 17 Januari. Namun demikian, seperti diisyaratkan dalam surat Jerome Valcke, agenda yang akan dibahas Komite Emergency pada awal Maret sebenarnya hanya menyangkut respon atau tindakan yang telah dilakukan PSSI menyusul keberadaan Liga Primer Indonesia (LPI).

Akan tetapi, agenda pertemuan Komite Emergency kini kemungkinan besar akan diperluas mengingat banyaknya peristiwa yang terjadi berurutan dan menghantam sepakbola nasional, khususnya intervensi pemerintah melalui Kantor Menegpora.

Karena intervensi pemerintah itu pula Komisi Banding mengaku sulit untuk merumuskan keputusan yang tepat dalam membahas memori banding yang dilakukan oleh empat calon Exco PSSI 20110-2015, yakni Arifin Panigoro, George Toisutta, Sihar Sitorus dan Tuty Dau. Arifin dan George Toisutta sebelumnya dinyatakan tidak lolos verifikasi dari Komite Pemilihan untuk menjadi calon ketua umum, sementara Sihar Sitorus dan Tuty Dau sama-sama tidak lolos verifikasi untuk anggota Exco.

Komisi Banding Komite Pemilihan yang terdiri dari Prof Dr Tjipta Lesmana, MA, Prof Dr. Gayus Lumbuun, Alfred Simandjuntak dan anggota pengganti Max Boboy dalam amar putusannya yang diumumkan Jumat (25/2) petang di Hotel Santika, menyatakan, membatalkan keputusan Komite Pemilihan menyangkut keempat pembanding. Namun, Komisi Banding sekaligus menolak pengajuan banding dari keempat pembanding tersebut.

"Kami mengembalikan keputusannya kepada Exco PSSI, sebagai pemegang mandat kepengurusan PSSI," demikian diutarakan Ketua Komisi Banding, Tjipta Lesmana.

Komisi Banding berhak memperkuat, merubah atau membatalkan seluruh keputusan dari Komite Pemilihan. Keputusan Komisi Banding final dan mengikat. Seusai mengumumkan amar keputusan mereka kepada publik melalui media, Komisi Banding masih melakukan pertemuan untuk penjelasan sikap resmi mereka kepada PSSI, sebagai pemberi mandat kepada mereka.

Sebelum membacakan amar keputusan Komisi Banding kepada media, Prof Dr Tjipta Lesmana berulangkali menekankan adanya intervensi campur tangan dan intervensi blak-blakan dari pemerintah melalui Menegpora Andi Alfian Malarangeng.

"Terakhir sampai tadi pagi pun saya masih membaca pernyataan Menegpora yang mengatakan akan mengambil-alih atau membekukan PSSI," tegas Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Indonesia dan Unversitas Pelita Harapan itu.

SANKSI FIFA

Kemungkinan adanya sanksi FIFA untuk PSSI sudah menjadi pembicaraan hangat pada tataran sepakbola nasional, apalagi kondisi yang terjadi di Indonesia paling tidak juga sudah diketahui oleh FIFA. FIFA mengetahui perkembangan yang terjadi di Indonesia dari tayangan televisi dan pemberitaan media cetak. Apa yang akan terjadi dalam beberapa hari kedepan kemungkinan akan sangat tidak menyenangkan untuk pecinta sepakbola nasional.

Para pemilik hak suara pada Kongres PSSI pun kini hanya bisa menyayangkan kemungkinan adanya situasi tidak menentu bagi persepakbolaan nasional ini. Mereka hanya bisa menyayangkan sikap pemerintah yang disebut-sebut menjadi pemicu dari timbulnya kekisruihan ini. Mereka menyatakan, keputusan Komisi Banding dengan mengembalikan banding dari calon-calon ketua umum dan Exco 2011-2015 ke PSSI adalah bukti nyata dari adanya situasi yang tidak kondusif itu.

"Saya dukung keputusan Komisi Banding itu karena siapa pun memang sulit merumuskan sebuah keputusan yang tepat ditengah tekanan luar biasa seperti ini," ujar Iqbal Ruray, Ketua Pengprov PSSI Maluku Utara, menyikapi keputusan Komisi Banding tersebut.

Syarifuddin Lamamba, Ketua Pengprov Sulawesi Tenggara, menyatakan PSSI sebenarnya hanya mengikuti sistem yang sudah baku yang ditetapkan oleh FIFA. "Saya kira aturannya sudah jelas, bahwa kita hanya mengikuti sistem yang ada. Saya tidak mengerti mengapa pemerinrtah seolah-olah tidak mau tahu dengan adanya sisten itu?"